Halaman

Rabu, 06 Februari 2013

Kyai itu belum tentu Ulama

KYAI belum tentu ULAMA (?)
==================

Ada dua pernyataan menarik yang saya dengar dari dua kyai berbeda di momen yang berbeda pula. Pertama, tentang pengertian "Kyai" dari KH Mustofa Bisri. Dan kedua, tentang "Penghapusan Dikotomi Ilmu" dari KH Munawwir Abdul Fattah. Dua hal yang (menurut saya) sama-sama unik dan sama-sama esensial bagi kehidupan kita, for present and future.

*PERTAMA*

Gus Mus berkhutbah dalam Haul Mbah KH Ali Maksum, Krapyak

Beberapa waktu yang lalu, dalam pengajian haul KH Ali Maksum di Krapyak, Gus Mus (KH Mustofa Bisri Rembang) yang didaulat sebagai pembicara membawa hadirin pada suasana nostalgia, yakni masa-masa di saat beliau nyantri dulu... mengenang kearifan para Kyai jaman dahulu... khususnya para Kyai di lingkungan pesantren Krapyak yang pernah 'ngemong' beliau. Seperti KH Ali Maksum, KH Dalhar Munawwir, dan KHR Abdul Qodir Munawwir.

Beliau mengisahkan betapa manusiawinya para Kyai itu, dalam arti mampu memanusiakan manusia, sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing orang, tidak menelantarkan tetapi juga tidak  mengekang. KH Ali Maksum misalnya, sosok Kyai yang "mbapaki" dan tidak "ngiyaini", sehingga beliau di kalangan santri-santrinya lebih akrab disapa "Pak Ali", begitupun para kyai-kyai Krapyak generasi selanjutnya, juga disapa dengan sapaan "Pak" atau "Mbah".

Salah satu hal yang khas dari Mbah Ali, khutbah Jum'atnya pendek-pendek, namun selalu bertemakan hal-hal penting yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari masyarakat. Hal ini bisa dilihat pada gaya khutbah Mbah Zainal (KH Zainal Abidin Munawwir, pengasuh Ponpes Al-Munawwir Krapyak sekarang) yang terkesan pendek namun berbobot, baik itu tentang fiqh, aqidah, maupun tasawwuf. Beliau memahami kondisi masyarakat yang bermacam-macam, sehingga tidak menyamaratakan, santri tidak sama dengan pegawai kantor, pedagang bakso, atau musafir yang kebetulan mampir di masjid untuk shalat Jum'at.

Saya ingat betul, pertama kali saya shalat Jum'at di Masjid pesantren Krapyak, tema yang dibahas oleh Mbah Zainal adalah bab Thoharoh alias 'sesuci', tentang apa itu air musta'mal, juga air mutanajjis. Belum tentu saya bisa temukan tema dan gaya khutbah semacam ini di Jakarta, di Kairo, atau di Saudi...

Atau seperti kisah KH Abdul Jalil Mustaqim, pengasuh pesantren PETA Tulungagung. Beliau disowani seorang wanita yang ber-'profesi' sebagai penjaja seks yang minta doa penglaris. Kyai Jalil hanya manggut-manggut, menasehati dan mendoakan seperti apa yang diminta wanita itu, laris. Beberapa hari kemudian, beliau disowani oleh wanita yang sama, namun kali ini berbeda, wanita itu merengek-rengek minta bertaubat. Wanita itu berkisah, sangkin larisnya, sampai-sampai tidak kuat, merasa tersiksa,
dan muncul keinginan untuk bertaubat.. wuih.. Wallahu A'lam...

Dari contoh-contoh yang banyak dikisahkan itu, kita bisa melihat bagaimana para Kyai bergaul dengan masyarakat, merangkul, mendengarkan, memahami, dan memberi nasehat serta solusi bagi masalah mereka, dibalut dengan keikhlasan dan sikap 'ngemong', tidak menghakimi. Ibarat gula, mereka rela meleburkan diri di tengah masyarakat sebagai airnya, sehingga masyarakat pun turut menjadi manis.

Sehingga, seperti dikatakan Gus Mus, dari wajah beliau-beliau itu tersirat cahaya kedamaian yang menular ke hati kita yang memandangnya. Beliau mencontohkan, setiap orang yang sowan ke ndalem Kyai Qodir (KHR Abdul Qodir Munawwir), meski membawa berbagai macam kegundahan di hati,
akan merasa plong, lega, ayem, ketika memandang wajah Sang Kyai yang disowani, seakan-akan semua masalahnya telah beres. Sangkin ayemnya...

Nah, di ujung kisahnya, Gus Mus menyatakan kerinduannya terhadap sosok-sosok Kyai masa lalu... serta menawarkan satu definisi kata "Kyai" dalam konteks keindonesiaan, beliau (kira-kira) berujar begini;

*"Saya punya definisi gelar 'Kyai' menurut versi saya sendiri, yakni ALLADZIINA YANDZURUUNAL UMMAH BI 'AYNIR ROHMAH; mereka yang memperhatikan Umat dgn pandangan Rahmat (Kasih Sayang). Kalau ada orang, pakaiannya ala Nabi, sorbannya lebar, jenggotnya panjang, tetapi nggak
menyayangi umat, biarpun saya ditawari duit sejuta, nggak bakal mau manggil dia 'Kyai'.. Tetapi kalau ada orang yang ilmunya nggak terlalu tinggi, tetapi mengayomi umat, dicintai umat, dia pantas disebut 'Kyai'..."*

Ungkapan Gus Mus ini sesuai dengan asal mula kata "Kyai" berupa kata "Ki" dan "Yai". Dalam kebudayaan kita, setiap hal yang memiliki kelebihan dalam sisi spiritual bisa digelari "Ki-Yai" atau "Kyai", tidak hanya sosok manusia, bahkan benda anorganik pun bisa, sebut saja Kyai Pleret si tombak, Kyai Cubruk si keris, atau Kyai Nogo Wilogo dan Kyai Guntur Madu si gong istimewa yang ditabuh saat Sekaten di Yogyakarta.

Kata "Kyai" itu sebenarnya, sebagaimana diungkapkan KH Abdullah Faqih Langitan, adalah sinonim dari kata "Sheikh" dalam bahasa Arab. Secara terminologi (istilahi), arti kata "Sheikh" itu sebagaimana disebutkan dalam kitab al-Bajuri adalah "man balagha rutbatal fadli", yaitu orang-orang yang telah sampai pada derajat keutamaan, karena selain pandai (alim) dalam masalah agama (sekalipun tidak 'allamah atau sangat alim), mereka mengamalkan ilmu itu untuk dirinya sendiri dan mengajarkan
kepada murid-muridnya. Penyebutan "Kyai" itu berasal dari inisiatif masyarakat, bukan dari dirinya sendiri atau media massa.

Sementara itu, makna kiai atau "Sheikh" dalam pengertian etimologi (lughotan) adalah "man balagha sinnal arbain", yaitu orang-orang yang sudah tua umurnya atau orang-orang yang mempunyai kelebihan, misalnya dalam hal berbicara atau mengobati orang (nyuwuk), tapi tidak pandai dalam masalah agama.

Makanya, ada ungkapan begini: AL-'ALIMU SYAIKHUN WALAW KAANA SHOGHIIRON (Orang pandai itu "sheikh" walaupun masih kecil/muda).. WAL JAHILU SHOGHIIRUN WALAU KAANA SYAIKHON (dan orang bodoh itu kecil walaupun sudah tua)..

Jadi, gelar "Kyai" sebenarnya memang diperuntukkan bagi mereka yang memiliki kelebihan dalam hal spiritual, dan kemudian diakui masyarakat. Berbeda dengan "Ulama" yang merupakan bentuk jamak dari kata "Alim" (orang yang berilmu), atau istilah kita "Ilmuwan". Gelar "Ulama" ini adalah gelar religius, sedangkan "Kyai" tidak. Kata "Ulama" jelas-jelas disebukan dalam surat Fathir ayat 28, INNAMAA YAKHSYALLOOHU MIN 'IBAADIHIL 'ULAMAA.

Dan di ayat itu tersurat secara gamblang bahwa kriteria Ulama yang dimaksud adalah berpengetahuan, kemudian pengetahuannya menjadi sebab dia mengenal serta bertaqwa kepada Allah. Jadi, ulama sudah tentu kyai, sedangkan kyai belum tentu ulama.

Sehingga, konsekuensinya, gelar "Kyai" tidaklah seperti pengertian masyarakat dewasa ini. Pada umumnya, masyarakat menilai bahwa "Kyai" adalah gelar bagi orang yang ahli agama Islam. Kesimpulan ini mungkin didapatkan dari keadaan selama ini bahwa yang namanya kyai ya mesti
berpengetahuan agama luas, akibat generalisasi obyek. Padahal pengertian Kyai lebih luas dari itu.

Kita melihat manusia mengunyah dengan rahang bawah, begitu pula kambing, begitu pula sapi, begitu pula kucing, kemudian kita menyimpulkan bahwa semua makhluk hidup mengunyah dengan rahang bawah. Lalu, ketika kita melihat buaya misalnya, maka kita sadar bahwa kesimpulan kita salah,
buktinya buaya mengunyah dengan rahang atas. Nah, kesimpulan macam ini, generalisasi, dalam bahasan ilmu Manthiq disebut metode Istiqro-i yang rentan salah.

Nah, ocehan saya ini hanya bermaksud mendukung dhawuh Gus Mus di atas, bahwasanya Tokoh Spiritual Panutan Masyarakat alias "Kyai" adalah mereka yang mengayomi masyarakatnya dengan penuh kasih sayang, pengertian, mengikat namun tidak mengekang. Di kala menegur pun, ibarat memukul, adalah bagaikan pukulan sebiting sapu lidi, menyengat tapi tidak menyakitkan..

Sosok-sosok pengayom ibarat pohon beringin seperti inilah yang masyarakat rindukan. Tidak hanya bergelut di ranah pembahasan kitab dan penetapan hukum-hukum formal agama. Tetapi juga turut membaur bersama masyarakat, memberikan solusi bagi permasalahan mereka.

Itu tadi tentang arti "Kyai" menurut Gus Mus...

*KEDUA*

Hal yang menarik kedua adalah ungkapan KH Munawwir Abdul Fattah di majelis Bedah Buku Biografi KHR Abdul Qodir di aula Madrasah Huffadh Al-Munawwir pada Sabtu (9/7) lalu. Di forum ini beliau mengajukan konsep pembelajaran Al-Quran yang sangat sistematis dan efisien.

Yakni pembelajaran Baca Tulis Al-Quran dimulai pada anak usia TK, kemudian Tahfidz (menghapal) dan penguasaan ilmu Alat Tahap Awal (Nahwu - Shorof) dilakukan di masa Ibtidaiyah (sekolah dasar), sedangkan selanjutnya para siswa dipersilakan memilih, apakah melanjutkan ke tingkat Aliyah ataukah ke SMA/SMK dan perguruan tinggi.

Kalau meneruskan di tingkat Aliyah, maka siswa tersebut akan melanjutkan ke pembelajaran Qiroat Sab'iyyat (7 model bacaan al-Quran) beserta pendalaman kitab-kitab klasik, terutama ilmu-ilmu Al-Quran. Sedangkan bagi siswa yang melanjutkan ke jenjang pendidikan umum (SMA/SMK, Perguruan Tinggi Umum) akan menjadi ilmuwan serta profesional sekaligus Hafidz Al-Quran yang 'melek' khazanah kitab klasik Islam.

Sehingga, yang saya tangkap dari pembicaraan Kyai Munawwir adalah keinginan beliau agar Al-Quran tidak hanya dihapal di kalangan santri, serta tak hanya sekedar dihapalkan, tetapi juga betul-betul dipahami dan menjadi ruh di setiap bidang keilmuan yang digeluti. Ilmu apapun itu, ilmu sains kah, ilmu sosial kah, ilmu perbintangan kah, ilmu keuangan kah, ilmu farmasi kah, apalagi ilmu syari'ah.

Sebagaimana di dalam Al-Quran sendiri, setidaknya ada 750 ayat yang menjelaskan secara eksplisit tentang alam semesta dan gejala-gejalanya. Dan uniknya, ayat-ayat itu diakhiri dengan kalimat pemicu bagi mereka yang berakal untuk merenungkan, memperhatikan, mempelajari dan meneliti fenomena-fenomena yang digambarkan. Sehingga tersibak bahwa di balik tirai Alam Semesta ini ada Dzat Yang Maha Mengatur, Allah swt.

Coba kita ambil contoh, di banyak ayat Al-Quran menyatakan bahwa semua gejala alam, baik itu makrokosmos (alam raya) maupun mikrokosmos (manusia dan kemanusiaannya) adalah hasil pengaturan sempurna (haq) dari Allah. Baik dari proses hujan di Albaqoroh ayat 22 sampai roman
kebangkitan dan kejatuhan suatu bangsa di Albaqoroh 247. Baik dari kisah kalah-menang dalam peperangan di surah Ali 'Imron sampai proses revolusi teratur benda-benda kosmos di angkasa dalam surah Yaasiin. Semua kejadian itu dikembalikan kepada Kemahakuasaan Allah swt.

Nah, cara pandang teologi seperti ini di dunia barat disebut dengan Occasionalisme. Sedangkan dalam dialektika berpikir ilmu kalam sering kita sebut dengan istilah "nadzor", artinya memperhatikan dengan seksama suatu gejala dan menemukan bahwa dibalik itu semua adalah Kekuasaan Allah Ta'ala Yang Esa. Artinya, semua gejala alam yang kemudian melahirkan banyak cabang ilmu merupakan sarana mengenal Allah swt., di samping ilmu-ilmu tersebut juga memiliki nilai manfaat di dalam kehidupan manusia.

Anehnya, beberapa saat lalu, di sebuah forum diskusi facebook tentang "siapa yang menjadi sumbu, bumi ataukah matahari", ada beberapa partisipan yang secara sinis menyatakan bahwa seharusnya kita berpegang pada nash secara penuh, dan mengenyampingkan IPA karena itu temuan orang kafir.

Lho, seakan-akan ada pengetahuan yang bukan dari Allah, seakan-akan Al-Quran bertentangan dengan fakta. Ah, saya hal ini tidak akan saya bahas di sini, terlalu panjang. Lha wong pernyataannya saja sudah keliru, secara tidak sengaja pada akhirnya dia menihilkan peran al-Khawarizmi, al-Farabi, al-Jabar, Ibnu Sina, dan sebagainya, di dalam sains. Ah.. betapa eneknya...

Mungkin inilah salah satu hal yang mendorong Kyai Munawwir menyatakan mimpinya;
*"Saya sedang bermimpi... mimpi menghapus dikotomi antara ilmu umum dan ilmu agama. Ilmu ya ilmu, hanya milik Allah, satu.. Ilmu Pengetahuan! Mungkin ini yang dimaksud oleh Mbah Zainal (KH Zainal Abidin Munawwir) bahwa; bila kita ingin ber-Islam dengan Kaffah (sepenuhnya), maka dalam hal keilmuan kita musti menghapus dikotomi antara ilmu agama dengan ilmu umum.. entahlah.."*

Nah, dua hal ini sungguh suatu pemikiran yang brillian menurut saya. Dan bila disatukan, akan menjadi sinergi yang luar biasa kuat bagi kemaslahatan masyarakat. Yakni ketika tokoh agamawan yang berlaku
sebagai "Kyai" bisa ngemong masyarakat dengan penuh kasih sayang..

Serta mau dan mampu membimbing masyarakat untuk memanfaatkan potensi yang dimiliki, terutama potensi intelektual dalam bidang apapun, demi kemaslahatan hidup masyarakat itu sendiri. Sehingga, Rahmah (kasih sayang) yang dimaksudkan tidak hanya berrotasi di lingkup manusia sebagai naas, basyar, maupun insan, tetapi juga melingkupi orbit yang jauh lebih luas yakni Alam Semesta...

Rahmatan lil 'Aalamiin..

Minggu, 29 Juli 2012

Bid'ah Dintinjau dari Berbagai Aspek

Oleh: Ibnu Abdillah Al-Katibiy



مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Benarkah hadits ini bermakna :

“ Barangsiapa yang berbuat hal baru yang tidak ada perintahnya, maka ia tertolak “
Simak pembahasannya di sini pakai ilmu (bukan pakai nafsu)…

Ditinjau dari sisi ilmu lughoh :
- I’rab nahwunya :
من : adalaha isim syart wa jazm mabniyyun ‘alas sukun fi mahalli rof’in mubtada’ wa khobaruhu aljumlatus syartiyyah ba’dahu.
احدث : Fi’il madhi mabniyyun ‘alal fathah fii mahalli jazmin fi’lu syarth wal fa’il mustatir jawazan taqdiruhu huwa.
في : Harfu jar
امرنا : majrurun bi fii wa lamatu jarrihi alkasrah, wa naa dhomirun muttashil mabnyyyun ‘alas sukun fii mahlli jarring mudhoofun ilaihi
هذا : isim isyarah mabniyyun alas sukun fi mahalli jarrin sifatun liamrin
ما : isim mabniy fii mahhli nashbin maf’ul bih
ليس : Fi’il madhi naqish yarfa’ul isma wa yanshbul khobar, wa ismuha dhomir mustatir jawazan taqdiruhu huwa
منه : min harfu jarrin wa hu dhomir muttashil mabniyyun alad dhommi wahuwa littab’iidh
فهو : al-faa jawab syart. Huwa dhomir muttashil mabniyyun alal fathah fi mahalli rof’in mubtada
رد : khobar mubtada marfuu’un wa alamatu rof’ihi dhommatun dzhoohirotun fi aakhirihi. Wa umlatul mubtada wa khobaruhu fi mahalli jazmin jawabus syarth.

Dari uraian sisi nahwunya maka bermakna :” Barangsiapa yang melakukan perkara baru dalam urusan kami yaitu urusan syare’at kami yang bukan termasuk darinya, tidak sesuai dengan al-Quran dan hadits, maka perkara baru itu ditolak “

Makna tsb sesuai dengan statement imam Syafi’i yang sudah masyhur :
ما أُحدِثَ وخالف كتاباً أو سنة أو إجماعاً أو أثراً فهو البدعة الضالة، وما أُحْدِثَ من الخير ولم يخالف شيئاَ من ذلك فهو البدعة المحمودة

“ Perkara baru yang menyalahi al-Quran, sunnah, ijma’ atau atsan maka itu adalah bid’ah dholalah / sesat. Dan perkara baru yang baik yang tidak menyalahi dari itu semua adalah bid’ah mahmudah / baik “

- Istidlal ayatnya (Pengambilan dalil dari Qurannya) :

وَجَعَلْنَا فِي قُلُوبِ الَّذِينَ اتَّبَعُوهُ رَأْفَةً وَرَحْمَةً وَرَهْبَانِيَّةً ابْتَدَعُوهَا مَا كَتَبْنَاهَا عَلَيْهِمْ إِلَّا ابْتِغَاءَ رِضْوَانِ اللَّهِ

“Dan Kami (Allah) jadikan dalam hati orang-orang yang mengikutinya (Nabi ‘Isa) rasa santun dan kasih sayang, dan mereka mengada-adakan rahbaniyyah, padahal Kami tidak mewajibkannya kepada mereka, tetapi (mereka sendirilah yang mengada-adakannya) untuk mencari keridhaan Allah” (Q.S. al-Hadid: 27)

- Istidlal haditsnya (pengambilan dalil dari haditsnya) :

مَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً حَسَنَةً فَلَهُ أَجْرُهَا وَأَجْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا بَعْدَهُ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أُجُوْرِهِمْ شَىْءٌ، وَمَنْ سَنَّ فِيْ الإِسْلاَمِ سُنَّةً سَيِّئَةً كَانَ عَلَيْهِ وِزْرُهَا وَوِزْرُ مَنْ عَمِلَ بِهَا مِنْ بَعْدِهِ مِنْ غَيْرِ أَنْ يَنْقُصَ مِنْ أَوْزَارِهِمْ شَىْءٌ

“Barang siapa merintis (memulai) dalam agama Islam sunnah (perbuatan) yang baik maka baginya pahala dari perbuatannya tersebut, dan pahala dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya, tanpa berkurang sedikitpun dari pahala mereka. Dan barang siapa merintis dalam Islam sunnah yang buruk maka baginya dosa dari perbuatannya tersebut, dan dosa dari orang yang melakukannya (mengikutinya) setelahnya tanpa berkurang dari dosa-dosa mereka sedikitpun”. (HR. Muslim)


- Ditinjau dari sisi Balaghoh :

Dalam hadits tsb memiliki manthuq dan mafhumnya :

Manthuqnya “ Siapa saja yang melakukan hal baru yang tidak bersumber dari syareat, maka dia tertolak “, misalnya sholat dengan bhsa Indonesia, mengingkari taqdir, mengakfir-kafirkan orang, bertafakkur dengan memandang wajah wanita cantik dll.

Mafhumnya : “ Siapa saja yang melakukan hal baru yang bersumber dari syareat, maka itu diterima “ Contohnya sangat banyak skali sprti pembukuan Al-Quran, pemberian titik al-Quran, mauled, tahlilan, khol, sholat trawikh berjama’ah dll.


Berangkat dari pemahaman ini, sahabt Umar berkata saat mengkumpulkan orang-orang ungtuk melakukan sholat terawikh berjama’ah :
نعمت البدعة هذه “ Inilah sebaik-baik bid’ah “
Dan juga berkata sahabat Abu Hurairah Ra :

فَكَانَ خُبَيْبٌ أَوَّلَ مَنْ سَنَّ الصَّلاَةَ عِنْدَ الْقَتْلِ (رواه البخاريّ)

“Khubaib adalah orang yang pertama kali merintis shalat ketika akan dibunuh”.
(HR. al-Bukhari dalam kitab al-Maghazi, Ibn Abi Syaibah dalam kitab al-Mushannaf)ز

Jika semua perkara baru itu buruk, maka sahabat2 tsb tidak akan berkata demikian.


Nah sekarang kita cermati makna hadits di atas dari wahhabi salafi :

مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Hadits ini mereka artikan :

Pertama : “ Barangsiapa yang berbuat hal baru dalam agama, maka ia tertolak “

Jika mreka mngartikan demikian, maka mereka sengaja membuang kalimat MAA LAITSA MINHU-nya (Yang bersumber darinya). Maka haditsnya menjadi : مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا ُ فَهُوَ رَدٌّ

Kedua : “ Barangsiapa yang berbuat hal baru yang tidak ada perintahnya, maka ia tertolak “

Jika merka mngartikan seperti itu, berarti merka dengan sengaja telah merubah makna hadits MAA LAITSA MINHU-nya MENJADI MAA LAITSA MA-MUURAN BIHI (Yang tidak ada perintahnya). Maka haditsnya menjadi : مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا ليَْسَ مَأمُوْراً بهِ فَهُوَ رَدٌّ

Sungguh ini sebuah distorsi dalam makna hadits dan sebuah pengelabuan pada umat muslim.

Jika mereka menentang dan berdalih : “ Bukankah Rasul Saw telah memuthlakkan bahwa semua bid’ah adalah sesat, ini dalilnya :
وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ (رواه أبو داود

Maka kita jawab : Hadits tsb adalah ‘Aam Makhsus (lafadznya umum namun dibatasi) dgn bukti banyak dalil yang menjelaskannya sprti hadits 2 sahabat di atas. Maksud hadits tsb adalah setiap perkara baru yang brtentangan dgn al-quran dan hadits.

Perhatikan hadits riwayat imam Bukhori berikut :

أشار سيدنا عمر ابن الخطاب رضي الله عنه على سيدنا أبو بكر الصديق رضي الله عنه بجمع القرآن في صحف حين كثر القتل بين الصحابة في وقعة اليمامة فتوقف أبو بكر وقال:" كيف نفعل شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم؟"
فقال له عمر:" هو والله خير." فلم يزل عمر يراجعه حتى شرح الله صدره له وبعث إلى زيد ابن ثابت رضي الله عنه فكلفه بتتبع القرآن وجمعه قال زيد:" فوالله لو كلفوني نقل جبل من الجبال ما كان أثقل علي مما كلفني به من جمع القرآن." قال زيد:" كيف تفعلون شيئا لم يفعله رسول الله صلى الله عليه وسلم." قال:" هو والله خير" فلم يزل أبو بكر يراجعني حتى شرح الله صدري للذي شرح له صدر أبي بكر وعمر رضي الله عنهما .

“ Umar bin Khothtob member isayarat kpd Abu Bakar Ash-Shiddiq untuk mengumpulkan Al-Quran dalam satu mushaf ktika melihat banyak sahabat penghafal quran telah gugur dalam perang yamamah. Tapi Abu Bakar diam dan berkata “ Bagaimana aku melakukan sesuatu yang tidak dilakukan oleh Rasul Saw ?” MaKA Umar menjawab “ Demi Allah itu suatu hal yang baik “. Beliau selalu mengulangi hal itu hingga Allah melapangkan dadanya. Kmudian Abu bakar memrintahkan Zaid bin Tsabit untuk mengumpulkan Al-Quran, maka Zaid berkata “ Demi Allah aku telah terbebani untuk memindah gunjung ke satu gunung lainnya, bagaimana aku melakukan suatu hal yang Rasul Saw tdiak melakukannya ?” maka Abu bakar mnjawab “ Demi Allah itu suatu hal yang baik “. Abu bakar trus mngulangi hal itu hingga Allah melapangkan dadaku sbgaimana Allah telah melapangkan dada Umar dan Abu Bakar “.

Coba perhatikan ucapan Umar dan Abu Bakar “ Demi Allah ini suatu hal yang baik “, ini menunjukkan bahwasanya Nabi Saw tidak melakukan semua hal yang baik, sehingga merka mngatakan Rasul Saw tidak pernah melakukannya, namun bukan berarti itu buruk.

Jika merka mengatakan sahabat Abdullah bin Umar telah berkata :
كل بدعة ضلالة وإن رآها الناس حسنة
“ Setiap bid’ah itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik “.

Maka kita jawab :

Itu memang benar, maksudnya adalah segala bid’ah tercela itu sesat walaupun orang-orang menganggapnya baik. Contohnhya bertaqarrub pd Allah dengan mndengarkan lagu dangdutan..

Jika sahabat Abdullah bin Umar memuthlakkan bahwa semua bid’ah itu sesat tanpa trkecuali walaupun orang2 mengangaapnya baik, lalu kenapa juga beliau pernah berkata :

بدعة ونعمت البدعة “ Itu bid’ah dan sebaik-baik bid’ah “
Saat beliau ditanya tentang sholat dhuha. Lebih lengkapnya :

عن الأعرج قال : سألت ابن عمر عن صلاة الضحى فقال:" بدعة ونعمت البدعة
“ Dari A’raj berkata “ Aku bertanya kepada Ibnu Umar tentang sholat dhuha, maka beliau menjawab “ Itu bid’ah dan sebaik-baik bid’ah “.

Apakah pantas seorang sahabat sprti Abdullah bin Umar tidak konsisten dalam ucapannya alias pllin-plan ?? sungguh sangat jauh dr hal itu.

KESIMPULAN :

- Cara membedakan bid’ah dholalah dan bid’ah hasanah adalah :
والتمييز بين الحسنة والسيئة بموافقة أصول الشرع وعدمها
“ Dengan sesuai atau tidaknya dengan pokok-pokok syare’at “.

- Orang yang mengartikan hadits :
مَنْ أَحْدَثَ فِيْ أَمْرِنَا هذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

Dengan : “ Bar angsiapa yang melakuakn hal baru maka itu tertolak “ atau “ Brangsiapa yang melakukan hal baru tanpa ada perintahnya maka ia tertolak “.

Orang yang mengartikan seperti itu, berarti ia telah berbuat bid’ah dholalah / sesat, akrena tidak ada dasarnya sama sekali baik dari Al-Quran, hadits maupun atsarnya..Dan telah sengaja merubah makna hadits Nabi Saw tersebut..dan kita tahu apa sangksi bagi orang yang telah berdusta atas nama Nabi Saw..Naudzu billahi min dzaalik..

Semoga bermanfaat bagi yang ingin mencari kebenaran dan bagi yang ingin mencari pembenaran silakan bantah dengan ilmu…

Rabu, 25 Juli 2012

Akar Sejarah Perbedaan NU - Muhammadiyah

Tulisan di bawah ini sangat menarik mengupas Latar belakang beda pendapat antara Nahdlatul Ulama (NU)  dan Muhammadiyah (MD) dalam masalah LEBARAN dan RAMADHAN.


LEBARAN DUA VERSI, MUHAMMADIYAH "BIANG KEKACAUAN" ?

Oleh : ahmad musta'in syafi'ie
Kiai Ahmad Dahlan dan Kiai Hasyim Asy'ari itu sekawan, sama-sama menunut ilmu agama di Arab Saudi. Sama-sama ahli Hadis dan sama-sama ahli fikih. Saat hendak pulang ke tanah air, keduanya membuat kesepakatan menyebarkan islam menurut skil dan lingkungan masing-masing.


Minggu, 22 Juli 2012

Qiyamu Ramadhan Nabi SAW 8 Rokaat (1)

KAJIAN RAMADHAN (1) Tentang Qiyamu Roamadhan Nabi SAW 8 Rokaat

Oleh: Abdullah Afif

Bismillahirrahmanirrahim
Telaah Kritis Hadits yang Meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihii wasallam Qiyam Ramadhan Delapan Rakaat

Diantara hujjah bertarawih 11 Rakaat adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari shahabat Jabir berikut:

عن جابر بن عبد الله قال صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في رمضان ثمان ركعات والوتر فلما كان من القابلة اجتمعنا في المسجد ورجونا أن يخرج إلينا فلم نزل في المسجد حتى أصبحنا فدخلنا على رسول الله صلى الله عليه و سلم فقلنا له : يا رسول الله رجونا أن تخرج إلينا فتصل بنا فقال : كرهت أن يكتب عليكم الوتر

'AN JAABIR IBNI 'ABDILLAAH QAALA:
SHALLAA BINAA RASUULULLAAH shallallaahu 'alaihi wasalllam FII RAMADHAAN TSAMAANA RAKA'AATIN WAL WITRA

FALAMMAA KAANA MINAL QAABILATI IJTAMA'NAA FIL MASJIDI WA RAJAUNAA AN YAKHRUJA ILAINAA FALAM NAZAL FIL MASJIDI HATTAA ASHBAHNAA

FADAKHALNAA 'ALAA RASUULILLAAH shallallaahu 'alaihi wasallam FA QULNAA LAHUU YAA RASUULALLAAH RAJAUNAA AN TAKHRUJA ILAINAA FATUSHALLI BINAA FA QAALA KARIHTU AN YUKTABA 'ALAIKUM AL WITRU

Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: ”Rasulullah -shallaahu 'alaihi wasallam- shalat dengan kami pada malam Ramadhan delapan rakaat dan witir.
Maka ketika malam berikutnya kami berkumpul didalam masjid dan berharap beliau akan keluar kepada kami, dan kami terus menerus dimasjid sampai pagi, kemudian kami masuk kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan kami berkata kepada beliau: ’Wahai Rasulullah, kami berharap engkau keluar kepada kami dan engkau shalat dengan kami, maka beliau bersabda: "Saya tidak senang witir diwajibkan atas kalian.’'


Qiyamu Ramadhan Nabi SAW 8 Rokaat (2)

KAJIAN RAMADHAN (2)

Oleh: Abdullah Afif
Berikut adalah data-data derajat Hadits yang Meriwayatkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihii wasallam Qiyam Ramadhan Delapan Rakaat.


عن جابر بن عبد الله قال صلى بنا رسول الله صلى الله عليه و سلم في رمضان ثمان ركعات والوتر فلما كان من القابلة اجتمعنا في المسجد ورجونا أن يخرج إلينا فلم نزل في المسجد حتى أصبحنا فدخلنا على رسول الله صلى الله عليه و سلم فقلنا له : يا رسول الله رجونا أن تخرج إلينا فتصل بنا فقال : كرهت أن يكتب عليكم الوتر

'AN JAABIR IBNI 'ABDILLAAH QAALA:
SHALLAA BINAA RASUULULLAAH shallallaahu 'alaihi wasalllam FII RAMADHAAN TSAMAANA RAKA'AATIN WAL WITRA

FALAMMAA KAANA MINAL QAABILATI IJTAMA'NAA FIL MASJIDI WA RAJAUNAA AN YAKHRUJA ILAINAA FALAM NAZAL FIL MASJIDI HATTAA ASHBAHNAA

FADAKHALNAA 'ALAA RASUULILLAAH shallallaahu 'alaihi wasallam FA QULNAA LAHUU YAA RASUULALLAAH RAJAUNAA AN TAKHRUJA ILAINAA FATUSHALLI BINAA FA QAALA KARIHTU AN YUKTABA 'ALAIKUM AL WITRU

Dari Jabir bin Abdullah, dia berkata: ”Rasulullah -shallaahu 'alaihi wasallam- shalat dengan kami pada malam Ramadhan delapan rakaat dan witir.
Maka ketika malam berikutnya kami berkumpul didalam masjid dan berharap beliau akan keluar kepada kami, dan kami terus menerus dimasjid sampai pagi, kemudian kami masuk kepada Rasulullah shallallaahu 'alaihi wasallam dan kami berkata kepada beliau: ’Wahai Rasulullah, kami berharap engkau keluar kepada kami dan engkau shalat dengan kami, maka beliau bersabda: "Saya tidak senang witir diwajibkan atas kalian.’'

Pertama:
Al Hafizh Adz Dzahabi dalam kitab Miizaanul I'tidal juz III halaman 310, ketika menjelaskan rawi yang bernama 'Isa bin Jaariyah, beliau mengutip sebuah sanad dan matan sebagai berikut:

. جعفر بن حميد ، حدثنا يعقوب القمى ، عن عيسى بن جارية ، عن جابر ، قال : صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم ليلة في رمضان ثمانى ركعات ، والوتر ، فلما كان في القابلة اجتمعنا ورجونا أن يخرج ، فلم نزل حتى أصبحنا ، قال : فدخلنا على النبي صلى الله عليه وسلم فقلنا : يا رسول الله اجتمعنا في المسجد ، ورجونا أن تخرج إلينا . فقال : إنى كرهت أن يكتب عليكم الوتر

al Hafizh Adz Dzahabi berkata:
. إسناده وسط
ISNAADUHUU WASATHUN
sanadnya tengah-tengah

Sumber:
Miizaanul I'tidal 3/310, cetakan Daar Ihya al Kutub al 'Arabiyyah

Kedua:
Al Hafizh al Haitsami dalam kitab Majma'uz Zawaaid juz III halaman 224
وعن جابر قال: صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم في شهر رمضان ثمان ركعات وأوتر فلما كانت القابلة اجتمعنا في المسجد ورجونا أن يخرج إلينا فلم يزل فيه حتى أصبحنا ثم دخلنا فقلنا: يا رسول الله اجتمعنا في المسجد ورجونا أن تصلي بنا؟ قال:
إني خشيت - أو كرهت - أن يكتب عليكم".

رواه أبو يعلى والطبراني في الصغير وفيه عيسى بن جارية وثقه ابن حبان وغيره وضعفه ابن معين.
RAWAAHU ABUU YA'LAA WATHTHABARAANI FISHSHAGHIIR
WA FIIHI 'IISAA IBNU JAARIYAH WATSTSAQAHUU IBNU HIBBAAN WA GHAIRUHUU WA DHA''AFAHUU IBNU MA'IIN
hadits diriwayatkan oleh Abu Ya'la dan ath Thabarani.
Didalam hadits ada Isa bin Jariyah, dia ditsqahkan oleh Ibnu Hibban dan lainnya, didha'ifkan oleh Ibnu Ma'in

Sumber:
* مجمع الزوائد. الإصدار 2.02
* *للحافظ الهيثمي
* * اسم الكتاب الكامل: مجمع الزوائد ومنبع الفوائد
* *للحافظ نور الدين علي بن أبي بكر الهيثمي المتوفى سنة 807
* بتحرير الحافظين الجليلين: العراقي وابن حجر
* *المحتويات: جميع الكتاب: الجزء الأول حتى العاشر.
* جميع الكتاب مدقق مرتين
* *تم التدقيق الثاني بالمقابلة مع طبعة دار الفكر، بيروت، طبعة 1412 هـ، الموافق 1992 ميلادي
http://islamport.com/d/1/mtn/1/81/2972.html

Ketiga:
Dr. Muhammad Musthafa al A'zhami ketika mentahqiq shahih Ibnu Khuzaimah, beliau mengomentari hadist diatas:
إسناده حسن عيسى بن جارية فيه لين
ISNAADUHUU HASAN, 'IISAA IBNU JAARIYAH FIIHI LIINUN
sanadnya hasan, Isa bin Jariyah didalamnya ada kelemahan

Sumber
الكتاب : صحيح ابن خزيمة
المؤلف : محمد بن إسحاق بن خزيمة أبو بكر السلمي النيسابوري
الناشر : المكتب الإسلامي - بيروت ، 1390 - 1970
تحقيق : د. محمد مصطفى الأعظمي

Keempat:
Syu'eib al Arna`uth ketika mentahqiq shahih Ibnu Hibban, beliau mengomentari hadits diatas:
إسناده ضعيف
ISNAADUHUU DHA'IIFUN
sanadnya dha'if

Sumber:
الكتاب : صحيح ابن حبان بترتيب ابن بلبان
المؤلف : محمد بن حبان بن أحمد أبو حاتم التميمي البستي
الناشر : مؤسسة الرسالة - بيروت
الطبعة الثانية ، 1414 - 1993
تحقيق : شعيب الأرنؤوط
عدد الأجزاء : 18
الأحاديث مذيلة بأحكام شعيب الأرنؤوط عليها


---------------
Catatan:
al Hafizh Adz Dzahabi berkata:
. إسناده وسط
ISNAADUHUU WASATHUN
sanadnya tengah-tengah
-----
saya belum menemukan apakah itu yang dmaksud dengan:
ISNAD WASATH

Hanya saja dalam sebuah situs dikatakan:
وقولهم: ((حديث صالح)) أو: ((إسناده صالح)) وهذا يرادف الحسن، وقد يكون أدنى منه، كصالح للاعتبار لا للاحتجاج.
وقولهم: ((إسناده وسط)) فهو بمنزلة ((صالح)) إلا إن دلت قرينة على إرادة الحسن.

Wallaahu A'lam

Bersambung, Insya Allah

Kajian Shalat Taraweh 11 Rokaat (3)

KAJIAN RAMADHAN (3)


Oleh: Abdullah Afif

Dalam hadits yang menerangkan bahwa Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam Qiyam Ramadhan 11 rakaat ada seorang rawi yang bernama Isa bin Jariyah

Al Hafizh al Haitsami dalam kitab Majma'uz Zawaaid juz III halaman 224 menjelaskan:
وعن جابر قال: صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم في شهر رمضان ثمان ركعات وأوتر فلما كانت القابلة اجتمعنا في المسجد ورجونا أن يخرج إلينا فلم يزل فيه حتى أصبحنا ثم دخلنا فقلنا: يا رسول الله اجتمعنا في المسجد ورجونا أن تصلي بنا؟ قال:
إني خشيت - أو كرهت - أن يكتب عليكم".

رواه أبو يعلى والطبراني في الصغير وفيه عيسى بن جارية وثقه ابن حبان وغيره وضعفه ابن معين.

RAWAAHU ABUU YA'LAA WATHTHABARAANI FISHSHAGHIIR
WA FIIHI 'IISAA IBNU JAARIYAH WATSTSAQAHUU IBNU HIBBAAN WA GHAIRUHUU WA DHA''AFAHUU IBNU MA'IIN

Hadits diriwayatkan oleh Abu Ya'la dan ath Thabarani.
Di dalam hadits ada Isa bin Jariyah, dia ditsqahkan oleh Ibnu Hibban dan lainnya, didha'ifkan oleh Ibnu Ma'in.

Berikut adalah data-data penilaian ulama ahlujjarh watta’dil mengenai rawi tersebut:

Pertama:
Al Hafizh al Mizzi dalam kitab Tahdziibul Kamaal 22/588 (Maktabah Syamilah)

4619 - ق عيسى بن جارية الأنصاري
المدني روى عن جابر بن عبد الله الأنصاري ق وجرير بن عبد الله البجلي وسالم بن عبد الله بن عمر وسعيد بن المسيب وشريك رجل له صحبة وأبي سلمة بن عبد الرحمن بن عوف روى عنه أبو صخر حميد بن زياد المدني وزيد بن أبي أنيسة وسعيد بن محمد الأنصاري وعنبسة بن سعيد الرازي ويعقوب بن عبد الله الأشعري القمي ق قال أبو بكر بن أبي خيثمة عن يحيى بن معين ليس حديثه بذاك لا أعلم أحدا روى عنه غير يعقوب القمي
وقال عباس الدوري عن يحيى بن معين عنده مناكير حدث عنه يعقوب القمي وعنبسة قاضي الري
وقال أبو زرعة ينبغي أن يكون مدينيا لا بأس به
وقال أبو حاتم عيسى الأنصاري الذي روى عن أبي سلمة روى عنه زيد بن أبي أنيسة هو عندي عيسى بن جارية
وقال أبو عبيد الآجري عن أبي داود منكر الحديث
وقال في موضع آخر ما أعرفه روى مناكير
وذكره بن حبان في كتاب الثقات روى له بن ماجة حديثا واحدا

Kedua:
Al Hafizh Adz Dzahabi dalam kitab Miizaanul I’tidaal 3/310 (Maktabah Syamilah)
6555 - عيسى بن جارية [ د ] الانصاري.
عن جابر.
مدنى.
وعنه يعقوب القمى، وجماعة.
قال ابن معين: عنده مناكير.
وقال النسائي: منكر الحديث، وجاء عنه: متروك.
وقال أبو زرعة: لا بأس به.

Ketiga:
Al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Tahdziibuttahdziib
8/185 (Maktabah Syamilah)
384 - ق (ابن ماجة) عيسى بن جارية (5) الانصاري المدني.
روى عن جرير البجلي وجابر بن عبدالله وشريك رجل له صحبة وابن المسيب وأبي
سلمة بن عبدالرحمن وسالم بن عبدالله بن عمر.
وعنه أبو صخر حميد بن زياد وزيد ابن أبي أنيسة ويعقوب القمي وعنبسة بن سعيد الرازي وسعيد بن محمد الانصاري.

قال ابن أبي خيثمة عن ابن معين ليس بذاك لا أعلم أحدا روى عنه غير يعقوب وقال الدوري عن ابن معين عنده مناكير حدث عنه يعقوب القمي وعنبسة قاضي الري
وقال أبو زرعة لا بأس به
وقال أبو حاتم عيسى الدوري عن أبي سلمة وعنه زيد بن أبي أنيسة هو عندي عيسى بن جارية
وقال الآجري عن أبي داود منكر الحديث وقال في موضع آخر ما أعرفه ووى مناكير
وذكره ابن حبان في الثقات.
له عنده حديث جابر خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم بمكة فمر على رجل يصلي.

قلت: وذكره الساجي والعقيلي في الضعفاء وقال ابن عدي أحاديثه غير محفوظة

-------------
Penilaian dari Syaikh Al Bani

Berikut penilaian beliau sebagaimana dalam kitabnya, Shalaatuttaraawih halaman 21 (Maktabah Syamilah):
إني خشيت أن يكتب عليكم
 

 Syeikh al Albani berkata:

رواه ابن نصر والطبراني وسنده حسن بما قبله واشار الحافظ في الفتح وفي التلخيص إلى تقويته وعزاه لابن خزيمة وابن حبان في صحيحهما

catatan:
saya tidak akan mengomentara apa yang diakatakan oleh Syeikh al Albani bahwa hadits tsb sanadnya hasan

saya hanya akan mengomentari apa yang dikatakan beliau:
واشار الحافظ في الفتح وفي التلخيص إلى تقويته وعزاه لابن خزيمة وابن حبان في صحيحهما

betulkah ada isyarat penguatan dari al Hafizh Ibnu Hajar dalam kitab Fathul Bari dan at talkhis al Habir ?

Berikut apa yang dijelaskan oleh al Hafizh Ibnu Hajar
Pertama:
dalam kitab Fat-hul Baari 3/12 (Maktabah Syamilah)

ولم أر في شيء من طرقه بيان عدد صلاته في تلك الليالي، لكن روى ابن خزيمة وابن حبان، من حديث جابر،قال: "صلى بنا رسول الله صلى الله عليه وسلم في رمضان ثمان ركعات ثم أوتر، فلما كانت القابلة اجتمعنا في المسجد ورجونا أن يخرج إلينا حتى أصبحنا، ثم دخلنا فقلنا: يا رسول الله". الحديث، فإن كانت القصة واحدة احتمل أن يكون جابر ممن جاء في
الليلة الثالثة فلذلك اقتصر على وصف ليلتين، وكذا ما وقع عند مسلم، من حديث أنس، "كان رسول الله صلى الله عليه وسلم يصلي في رمضان، فجئت فقمت إلى جنبه،فجاء رجل فقام حتى كنا رهطاً، فلما أحس بنا تجوز ثم دخل رحله" الحديث، والظاهر أن هذا كان في قصة أخرى.

kedua:
dalam kitab at Talkhiis al Habiir 2/21 (Maktabah Syamilah)
حَدِيثُ أَنَّهُ صلى اللَّهُ عليه وسلم صلى بِالنَّاسِ عِشْرِينَ رَكْعَةً لَيْلَتَيْنِ فلما كان في اللَّيْلَةِ الثَّالِثَةِ اجْتَمَعَ الناس فلم يَخْرُجْ إلَيْهِمْ ثُمَّ قال من الْغَدِ خَشِيت أَنْ تُفْرَضَ عَلَيْكُمْ فَلَا تُطِيقُوهَا مُتَّفَقٌ على صِحَّتِهِ من حديث عَائِشَةَ دُونَ عَدَدِ الرَّكَعَاتِ وفي رِوَايَةٍ لَهُمَا خَشِيت أَنْ تُفْتَرَضَ عَلَيْكُمْ صَلَاةُ اللَّيْلِ فَتَعْجِزُوا عنها زَادَ الْبُخَارِيُّ في رِوَايَةٍ فَتُوُفِّيَ رسول اللَّهِ صلى اللَّهُ عليه وسلم وَالْأَمْرُ على ذلك

وَأَمَّا الْعَدَدُ فَرَوَى بن حِبَّانَ في صَحِيحِهِ من حديث جَابِرٍ أَنَّهُ صلى بِهِمْ ثمان ثماني ) ) ) رَكَعَاتٍ ثُمَّ أَوْتَرَ فَهَذَا مُبَايِنٌ لِمَا ذَكَرَ الْمُصَنِّفُ نعم ذِكْرُ الْعِشْرِينَ وَرَدَ في حَدِيثٍ آخَرَ رواه الْبَيْهَقِيُّ من حديث بن عَبَّاسٍ أَنَّ النبي صلى اللَّهُ عليه وسلم كان يصلى في شَهْرِ رَمَضَانَ في غَيْرِ جَمَاعَةٍ عِشْرِينَ رَكْعَةً وَالْوِتْرَ زَادَ سُلَيْمٌ الرَّازِيّ في كِتَابِ التَّرْغِيبِ له وَيُوتِرُ بِثَلَاثٍ قال الْبَيْهَقِيُّ تَفَرَّدَ بِهِ أبو شَيْبَةَ إبْرَاهِيمُ بن عُثْمَانَ وهو ضَعِيفٌ وفي الْمُوَطَّأِ وَابْنِ أبي شَيْبَةَ وَالْبَيْهَقِيِّ عن عُمَرَ أَنَّهُ جَمَعَ الناس على أُبَيِّ بن كَعْبٍ فَكَانَ يُصَلِّي بِهِمْ في شَهْرِ رَمَضَانَ عِشْرِينَ رَكْعَةً الحديث

Kalau WA 'AZAAHU memang ada, tapi TAQWIYAH koq saya tidak menemukan dari kedua ta'bir diatas

wallaahu A'lam

Hujah Taraweh 11 Rokaat (bagian 4)

KAJIAN RAMADHAN (4)

Abdullah Afif
Oleh: Abdullah Afif 
Diantara hujjah bertarawih 11 Rakaat adalah sebuah hadits yang diriwayatkan dari shahabat Ubayy bin Ka’ab berikut:

جاء أبي بن كعب إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال : يا رسول الله ، إنه كان مني الليلة شيء – يعني في رمضان – قال : وما ذاك يا أبي ؟ قال : نسوة في داري قلن : إنا لا نقرأ القرآن ، فنصلي بصلاتك ، قال : فصليت بهن ثماني ركعات ، ثم أوترت ، قال : فكان شبه الرضا ، ولم يقل شيئا.

JAA`A UBAYYU IBNU KA’BIN ILANNABIYYI shallallaahu ‘alaihi wasallam FAQAALA:
YAA RASUULALLAAH, INNAHUU KAANA MINNII ALLAILATA SYAI`UN – YA’NII FII RAMADHAAN-
QAALA: WA MAA DZAAKA YAA UBAYYU ?

QAALA: NISWATUN FII DAARII QULNA INNAA LAA NAQRA`U AL QUR`AANA FANUSHALLII BISHALAATIKA QAALA FASHALLAITU BIHINNA TSAMAANIYA RAKA’AATIN TSUMMA AUTARTU QAALA FAKAANA SYIBHARRIDHAA WA LAM YAQUL SYAI`AN